Senin, 16 Januari 2012

Jakarta, FaktaPos.com – Pada Senin (09/01), Pengadilan Revolusi Iran menjatuhkan hukuman mati pada seorang warga AS keturunan Iran, Amir Mirza Hekmati, karena melakukan kegiatan mata-mata untuk badan inteljen AS, CIA. Peristiwa ini membuat AS murka. Juru bicara Gedung Putih pada hari itu juga mengutuk Iran dan mengatakan Republik Islam tersebut "memiliki sejarah secara keliru mendakwa orang."
Hekmati didakwa bekerja sama dengan pemerintah AS, musuh bebuyutan Iran, menjadi anggota CIA dan melakukan upaya menuduh Iran melakukan aksi terorisme. Dalam pemeriksaan pengadilan, Hekmati mengakui ia bermaksud menembus sistem intelijen Iran untuk membantu CIA dan mengatakan ia ditipu oleh Badan Intelijen Pusat AS tersebut.
Hekmati (28) ditangkap pada Desember dan Kementerian Intelijen Iran menuduhnya menerima pelatihan di pangkalan-pangkalan AS di negara-negara tetangga, Afghanistan dan Irak. Pengadilan Iran mengatakan, Hekmati mengakui memiliki hubungan dengan CIA namun mengatakan, ia tidak berniat mencelakakan Iran. Televisi Iran menyebut pria itu sebagai warga AS keturunan Iran yang lahir di negara bagian Arizona, AS.
Menurut laporan itu, pria tersebut bergabung dengan Angkatan Darat AS pada 2001 dan menjalani pelatihan intelijen selama satu dasawarsa. Televisi itu mengatakan, Hekmati dikirim ke Pangkalan Udara Bagram Afghanistan yang dikelola AS dan diberi akses untuk informasi intelijen rahasia sebelum diterbangkan ke Teheran dalam upaya membujuk orang-orang Iran.
"Adalah rencana mereka untuk pertama-tama menyesatkan sejumlah informasi yang berguna, kemudian memberikannya kepada mereka (orang Iran) dan membiarkan kementerian intelijen berpendapat bahwa ini bagus dan kontak saya setelah itu," kata pria muda itu, yang berbicara bahasa Persia dengan lancar, pada Desember setelah penangkapannya. Namun, jaringan-jaringan Iran yang mengawasi pangkalan Bagram mengetahui keberadaannya dan menggagalkan operasi itu, kata saluran tersebut.
Televisi itu menunjukkan sebuah kartu identitas yang menyebut Hikmati sebagai "Kontraktor Tentara" dengan akses ke pertokoan dan fasilitas rekreasi di pangkalan Bagram. Berita mengenai penangkapan tersangka agen CIA itu tersiar di tengah meningkatnya ketegangan Iran-AS setelah Teheran menyatakan menembak jatuh dan menguasai pesawat tak berawak AS di wilayah udaranya.
Tapi AS mengatakan, dakwaan kegiatan mata-mata terhadap Hekmati "palsu" dan
menyeru pemerintah Iran agar memberi hak perlindungan Swiss – Swiss adalah negara yang mewakili kedutaan besar AS di Teheran setelah AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada 1980 -- akses segera ke Hekmati, memberi dia akses ke penyuluhan hukum dan membebaskan dia tanpa penundaan.
Ditambahkan, AS menanggapi masalah ini secara sungguh-sungguh dan menanganinya dengan cara yang sesuai." Di Departemen Luar Negeri AS, wanita juru bicara Victoria Nuland menyampaikan pesan serupa dan mengutuk putusan itu "dengan sekeras mungkin" serta menggambarkannya sebagai "rekayasa." Pada 17 Desember, Kementerian Intelijen Iran mengumumkan kementerian tersebut telah menangkap seorang mata-mata AS di negeri itu. Ia adalah staf analis CIA yang bertugas menembus aparat intelijen Iran.
Pada hari yang sama dengan penjatuhan hukuman mati atas Hekmati, Teheran menyatakan bahwa ia telah memulai proses pengayaan uranium di fasilitas nuklir bawah tanah di Pordow, Iran, dengan jaminan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) bahwa seluruh proses pengayaan itu dipantau 24 jam penuh. Kendati demikian,  juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, di Washington menegaskan, proses pengayaan uranium di Pordow itu menunjukkan Iran meningkatkan eskalasi pelanggaran terhadap berbagai resolusi PBB terkait program nuklir Iran.
Keputusan Iran mengaktifkan fasilitas di Pordow, lanjut Nuland, juga menambah keraguan bahwa Iran sungguh-sungguh berniat damai dengan program nuklirnya. “Kami sekali lagi menyerukan kepada Iran untuk menangguhkan kegiatan pengayaan uraniumnya, bekerja penuh dengan IAEA, dan segera mematuhi seluruh resolusi PBB dan Dewan Gubernur IAEA,” ujar Nuland.
Dua hari setelah itu, Rabu (11/01), seorang ahli nuklir Iran, Mostafa Ahmadi Roshan, tewas dan dua orang lainnya luka-luka akibat serangan bom mobil yang ditempelkan oleh dua pengendara motor. Roshan adalah seorang ahli kimia dan direktur fasilitas pengayaan uranium Natanz di Iran tengah. Natanz adalah situs pengayaan utama Iran. Tetapi para pejabat Iran menyatakan awal pekan ini bahwa mereka memperluas beberapa operasi ke sebuah situs bawah tanah di selatan Teheran dengan peralatan yang lebih maju.
Peristiwa penyerangan ini mirip dengan serangan-serangan sebelumnya terhadap para ilmuwan nuklir Iran pada medio 2010. Pada tanggal 12 Januari 2010, profesor fisika senior Universitas Teheran, Masoud Ali Mohammadi, tewas akibat bom sepedan motor yang meledak di dekat mobilnya. Pada bulan November 2010, serangan bom secara beruntun terjadi di berbagai ibukota Iran dan menewaskan satu ilmuwan nuklir Iran dan melukai lainnya.
Ilmuwan yang tewas adalah Majid Shahriasi, anggota fakultas teknik nuklir di Shahid Beheshti University di Teheran dan bekerja sama dengan Organisasi Energi Atom Iran.
Sedangkan korban luka adalah Fereidoun Abbasi, yang belakangan akan ditunjuk sebagai kepala badan atom Iran. Terkait dengan rentetan serangan bom ini, pemerintah Iran menuding pihak AS dan Israel berada di balik aksi itu.
Beberapa ilmuwan nuklir Iran memang sering menjadi korban pembunuhan dalam beberapa tahun terakhir. Pada Januari 2007, ahli fisika nuklir Iran terkenal, Ardeshir Hoseynpur, meninggal akibat keracunan gas. Iran menuduh dinas intelijen Israel terlibat dalam insiden itu. Hoseynpur, yang merupakan tokoh utama dalam program pengayaan uranium Iran, memenangkan penghargaan penting terkait penelitiannya pada 2004 dan sebuah perghargaan dalam festival ilmu pengetahuan internasional Iran pada 2006.
Pada Juni 2009, ahli nuklir lain Iran, Shahram Amiri, yang merupakan anggota Organisasi Energi Atom Iran dan peneliti di sebuah universitas di Teheran, menghilang ketika melaksanakan ibadah haji di Arab Saudi. Iran bersikeras bahwa Amiri diculik oleh agen AS dan mereka dengan tegas mengutuk pemerintah AS atas aksi itu. Setelah hilang selama lebih dari setahun, Amiri kembali ke Teheran pada Juli 2010 atas upaya terus menerus yang dilakukan pemerintah Iran.
Maka peristiwa peledakan bom pada Rabu (11/01) itu semakin memperkuat klaim otoritas Iran adanya operasi rahasia yang dilakukan oleh negara-negara Barat dan sekutunya yang mencoba melumpuhkan nuklir negara itu. Seorang pejabat senior keamanan Iran Safar Ali Baratloo mengatakan, “Bom magnetik adalah jenis bom yang sama yang digunakan untuk membunuh para ilmuwan kita," katanya.
Sebelumnya, laporan media mengidentifikasi Roshan sebagai dosen di universitas, dan Fars serta Press TV menyatakan ia dulu adalah seorang "ilmuwan nuklir". Belakangan dengan mengutip pengumuman dari Universitas Sharif, Teheran, IRNA melaporkan Roshan adalah anggota staf instalasi pengayaan uranium Iran di Natanz. Ahmadi-Roshan, yang berusia 32 tahun, adalah wakil kepala bagian komersial instalasi pengayaan uranium Natanz, kata IRNA. Ia lulus dari Universitas Sharif yang bergengsi pada 2003 dari Fakultas Teknik Kimia, kata IRNA.
Para pejabat Iran menuding AS dan Israel sebagai otak di belakang pembunuhan staf nuklirnya. Wakil I Presiden Iran, Mohammad Reza Rahimi mengatakan, agen Israel adalah pelaku pembunuhan Roshan. "Musuh mesti tahu mereka takkan bisa menghentikan kemajuan ilmu pengetahuan Iran dengan tindakan teroris semacam itu," kata Rahim sebagaimana dikutip IRNA, Kamis (12/01).
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Ramin Mehmanprast mengatakan, pembunuhan ilmuwan nuklir itu adalah petunjuk mengenai berlanjutnya aksi teroris tak manusiawi oleh Israel dengan dukungan negara barat tertentu, terutama AS. Tujuannya ialah untuk mencegah kegiatan nuklir damai Republik Islam, kata kantor berita setengah resmi Fars. Mehamanprast mengatakan, Iran akan menuntut pembunuh Roshan melalui jalur internasional.
Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Pejabat Komisi Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Nasional di Majelis Iran, Kazem Jalali, yang mengatakan dinas intelijen Israel dan AS berada di balik pembunuhan ilmuwan nuklir Iran itu. Jalali mengatakan, pengalaman masa lalu menunjukkan aksi teroris seperti pembunuhan Roshan adalah pekerjaan agen intelijen rejim Zionis dan AS.
Sedangkan Ketua Majelis Iran, Ali Larijani mengutuk pembunuhan Roshan dan menilainya sebagai petunjuk mengenai dalamnya kebencian musuh terhadap negeri tersebut, demikian laporan media satelit lokal Press TV. Ini bukan untuk pertama kali negara congkak mensahkan aksi sia-sia semacam itu," kata Larijani. Ia menambahkan semua musuh Iran meyadari bahwa aksi itu tak bisa merusak tekad bangsa Iran. AS, melalui Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, menyangkal keras bahwa Washington berada di balik insiden berdarah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar