Oleh : Amin E
Jakarta, FaktaPos.com - Bismillah, walhamdulillah, wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du. Dalam Alqur’an surat Al Baqarah ayat 256 Allah berfirman yang artinya, "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Jakarta, FaktaPos.com - Bismillah, walhamdulillah, wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du. Dalam Alqur’an surat Al Baqarah ayat 256 Allah berfirman yang artinya, "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Asbabunnujul, sebab turunnya ayat ini Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa di jaman Rasulullah SAW ada seorang sahabat Ansor dari Bani Salim bin Auf yang bernama Hushain, sahabat ini mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani kemudian sahabat ini berkata kepada Nabi "Apakah sebaiknya aku memaksa kedua anakku itu masuk Islam? Lalu turunlah ayat tersebut diatas sebagai jawaban Nabi.
Jika kita memahami dengan wayuzakkihim wayu’allimuhumul kitaba wal hikmah, yakni mencerna teks-teks ilahiah secara objektif, hati yang bersih, rasional, hingga mampu memunculkan hikmah yang terkandung didalamnya. Maka kita akan mendapatkan satu hikmah dalam ayat ini bahwa Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap bijaksana dan jauh dari kesan otoriter, dan merasa diri paling benar dan demokratis.
Poin yang kedua dalam ayat ini, adalah mengingkari akan thaghut. Kata thaghut dalam ayat ini, dibeberapa mufassir seperti Ibnu Abbas, Muqotil, Alkalby, menafsirkan dengan arti setan, seperti dalam terjemahan Alqur’an terbitan departemen agama.
Thaghut secara bahasa berasal dari kata thugyan yang berarti sesuatu yang melewati batas, kata thaghut dalam Alquran sendiri dalam beberapa ayat lebih mengarah kepada seseorang yang membenci Nabi atau sesorang yang menetapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu atau sesuatu yang disembah selain dari Allah SWT.
Dalam surat Annisa’ ayat 60 dikatakan, "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya"
Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelaskan mengenai perihal turunnya ayat ini, "Ada seorang munafiq dan seorang yahudi bersengketa, si yahudi mengharapkan dan mengajak si munafik untuk menemui Rasulullah untuk memutuskan sengketanya, karena si yahudi ini tahu bahwa Rasulullah akan memberikan suatu keputusan yang benar dan si yahudi tahu betul bahwa Rasulullah tidak bisa disuap, tetapi si munafiq enggan, bahkan mengajak si yahudi untuk menjadikan Kaab bin Asyraf sebagai hakimnya, Kaab inilah yang dimaksud thaghut dalam ayat ini, Kaab bin Asyraf adalah seorang pemimpin orang-orang munafik, dan termasuk melewati batas dalam memberi suatu putusan, dengan terbiasa menerima suap.
Dalam hal ini Alqur’an tidak melegitimasi sedikit pun segenap perilaku dan sikap yang melampaui batas. Dalam kontek ini Prof DR. Said Aqil Siraj menjelaskan, ada tiga sikap yang dikatagorikan “melampaui batas” pertama, “ghuluw” yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespon persoalan hingga terwujud dalam sikap-sikap diluar batas kewajaran manusia.
Kedua, “tatharruf” yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat.
Ketiga, “irhab” ini yang terlau mengundang kekhawatiran karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi.
Bagaimana dengan pendapat Khairul Ghazali alias Abu Yasin, tersangka terorisme yang ditangkap dan disiksa Densus 88 di Medan 19 September 2010? Menurut Khairul, secara etimologi thaghut yang berarti thogho adalah perbuatan yang melampaui batas. Salah satu penjelasan tentang thaghut terdapat dalam surat Al A’laq ayat 6-7. “Kalla, innal insana layathghaa arra `aahustaghna”. Ketahuilah bahwa manusia itu benar-benar akan melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.
“Jadi kita ini semua berpeluang menjadi thaghut. Kenapa kita sibuk menthaghutkan orang lain. Maka ketika marah dan hilang akan sejatinya kita juga seorang thaghut,” tukas Khairul yang menulis buku ini dari balik jeruji besi. (eramuslim.com)
Lantas bagaimana ulama menafsirkan Thaghut? Ibnu Katsir berkata: “Dan firman Allah: “Maka barang siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat. Tidak akan putus tali itu”. (Al-Baqoroh: 256)
Maksudnya barangsiapa yang meninggalkan tandingan-tandingan, berhala-berhala dan segala yang diserukan oleh syaitan untuk diibadahi selain Allah, lalu mentauhidkan Allah dengan beribadah hanya kepadanya dan bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang diibadahi secara benar kecuali Allah, maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat, maksudnya ia telah kokoh urusannya dan istiqomah pada jalan yang paling baik dan pada jalan yang lurus.
Kemudian Ibnu Katsir menukil dari Umar ibnul Khathab bahwa thaghut itu adalah setan. Dan Ibnu Katsir berkata: “Yang dimaksud dengan thaghut dalam firman Allah adalah seetan, arti ini sangat kuat, karena mencakup segala kejelekan orang-orang jahiliyah yang berupa beribadah kepada berhala, berhukum kepadanya dan meminta pertolongan kepadanya”. (Tafsir Ibnu Katsir I/311). Dan pada I/512 Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Umar itu juga dikatakan oleh Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Mujahid, ‘Atho’, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adl-dlohak dan As-Saddi. Dan Ibnu Katsir menukil dari Jabir rodliyAllahu ‘anhu, bahwa thaghut itu adalah para dukun yang disinggahi setan.
Dan dia juga menukil dari Mujahid bahwa thaghut itu artinya ; Setan dalam bentuk manusia yang didatangi untuk memutuskan perkara, dan dia yang menguasai urusan mereka. Dan dia menukil dari Imam Malik bahwa thaghut itu artinya adalah; segala sesuatu yang diibadahi selain Allah swt.
Dan dalam menafsirkan firman Allah: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengkufuri thaghut itu". (QS. 4:60)
Apabila kita renungkan keadaan manusia bersama thaghut ini kita akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Allah dan RasulNya lalu berhukum kepada thaghut, dan berpaling dari mentaati Allah dan mengikuti RasulNya, lalu Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini lebih umum dari pada itu semua, sesungguhnya ayat itu merupakan celaan bagi setiap orang yang menyeleweng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berhukum kepada selain keduanya. Dan inilah yang dimaksud dengan thaghut di sini”. (Tafsir Ibnu Katsir I/619)
Ibnul Qoyyim berkata: “Thaghut adalah segala sesuatu yang mana seorang hamba itu melampaui batas padanya, baik berupa sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau ditaati. Maka thaghut adalah segala sesuatu yang dijadikan pemutus perkara oleh suatu kaum, selain Allah dan RasulNya, atau mereka ibadahi selain Allah, atau mereka ikuti tanpa berdasarkan petunjuk dari Allah, atau mereka taati pada perkara yang mereka tidak tahu bahwa itu ketaatan kepada Allah. Inilah thaghut didunia ini, apabila engkau renungkan keadaan manusia bersama thaghut ini, engkau akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Allah dan RasulNya lalu berhukum kepada thaghut, dan berpaling dari mentaati Allah dan mengikuti RasulNya lalu mentaati dan mengikuti thaghut”. (A’lamul Muwaqqi’in I/50)
Melihat beberapa definisi Thoghut memang menimbulkan pro-kontra, atau bahkan sesama ulama memiliki persepsi yang berbeda. Namun memahami Islam secara tekstualistik dan legal-formal kadang sering mendatangkan sikap ekstrem dan melampaui batas. Dan sudah saatnya ummat Islam terutama para cendikiawan, kyai, ustad untuk memberikan pencerahan kepada ummat akan pentingnya esensi Islam itu sendiri sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Tidak memberikan kesan bahwa agama Islam adalah agama anarkis, keras, radikal, suka mencaci dan menyalahkan golongan lain.
Fenomena sekarang ini banyak kyai dan ustadz yang jika kita perhatikan dalam dakwahnya hanya berisi hujatan dan caci maki pada kelompok- kelompok yang tidak se-ideologi dengannya, dengan ungkapan kafir! Thaghut! Dan caci maki yang lainnya. Padahal ulama adalah pewaris Nabi “al ‘ulama warasatul anbiya“. Rasulullah diutus oleh Allah ke muka bumi ini untuk menyempurnakan Akhlaq, perilaku, etika. Bukan sebagai pelaknak atau caci maki. dan jika kita mau jujur sebenarnya siapa yang thaghut? Siapa yang kafir? Pepatah arab mengatakan “man ahabba syaian katsuro dikruhu” barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan banyak menyebutnya.
Dakwah yang seperti ini adalah merupakan bentuk dakwah yang melampaui batas dan tidak sesuai dengan bentuk dakwah agama Islam, yang seharusnya mengedepankan “qaulan kariman” (perkataan yang mulia) “qaulan ma’rufa” (perkataan yang baik) “qaulan maisura” (perkataan yang pantas) “qaulan layyinan” (perkataan yang lemah lembut) “qaulan baligho” (perkataan yang berbekas pada jiwa) “qaulan tsaqila” (perkataan nyang berbobot) sebagaimana diamanatkan dalam Al-Qur’an.
Wallahu ‘alam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar